Senin, 24 Agustus 2015

The Meaning of Family

Keluarga adalah tempat pertama, tempat paling awal, kita belajar segala hal mendasar. Saling menyayangi, memberi, tertawa, menangis, saling memberi support satu sama lain, dan masih banyak definisi positif lainnya mengenai keluarga.

Indah, memang jika yang dirasakan semua orang emang seperti itu. But hell! No! Lu harus tau, harus nyadar, bahwa gak semua orang berpendapat sama. Some bad, some good. And I'm on the way of bad side.

Sulit buat gue memandang keluarga sebagai sesuatu dari segala keindahan dan kenyamanan berasal, apalagi setelah gue beranjak dewasa. Gue pelan-pelan sadar, semuanya gak seperti kelihatannya. Hal ini semakin menambah ketidakpercayaan gue terhadap individu lain, dan gak menutup kemungkinan juga, gue gak percaya sama keluarga gue sendiri. And yeah! That's what I do.

Gue semakin yakin, gak bakal ada yang bisa nolongin gue selain diri gue sendiri. Ketika gue down, diri gue lah yang paling mengerti gue. Luar dalam. Gak ada prasangka. Gue bangkit sendiri. Mulai lagi, dan mungkin jatuh lagi. Gitu aja terus. Sampe suatu saat, yang gue sangat yakin akan hal itu, akan ada ganjaran yang setimpal atau bahkan lebih, dari apa yang udah gue lakukan selama ini.

Then, dimana orang-orang? Dimana peran keluarga itu memberikan support ke gue, minimal support mental? Ga ada! Mungkin gaakan pernah! Sebaliknya, gue malah ngerasa mereka menekan gue, menambah beban yang sedang gue tanggung dengan pertanyaan-pertanyaan mereka yang nusuk-nusuk perlahan dan cerita-cerita yang seharusnya udah gue denger sejak gue masih di dalam perut ibu gue, setidaknya itu perkiraan gue tentang pikiran mereka. Anggota-anggota keluarga yang gue anggap paling berhati mulia (bukan karena mereka ngasih dukungan ke gue atau apa, tapi karena gue lihat sendiri hati mereka sepertinya tulus melakukan segalanya buat hidup mereka dan orang lain), tapi ternyata mereka yang paling buruk yang pernah ada. Mereka lah muka dua yang sebenarnya. Mereka lah sebenar-benarnya yang seakan-akan gak pernah mengharapkan gue ada dan terlahir ke dunia ini. Ketika mereka ada di dekat gue dan mulai menuturkan cerita sialan itu, mereka seakan mencoba menyampaikan "Hmm... sebenernya lu tuh cuma ngerepotin kita sejak lu ada, tapi mau gimana lagi, gue kepaksa tapi pura-pura tulus dan berusaha tulus karena gue sayang orang tua." Dari sini gue sadar, gue belum bisa membalas semua budi baik mereka, setidaknya gue harus pergi. Gue gak bisa deket-deket sama orang seperti mereka. Gue akan cari sendiri segalanya. Insya Alloh gue bisa. Gue bukan orang yang sangat religius, tapi gue tahu, Tuhan tahu segalanya. He needs no explanation of everything. Dia Maha Tahu.

Kalo setelah keluarga yang amburegul itu orang-orang bilang, masih ada sahabat, ngomong aja ama tembok di rumah angker -_- man, sadar! Lu hidup di dunia nyata. Ini bukan ftv atau sinetron. SAHABAT SEJATI ITU MITOS! Kalo pun mereka bilang ada, berarti mereka tinggal nunggu waktu buat pengkhianatan. Dan ketika waktu itu tiba, gue akan bilang ke orang-orang yang menama-besarkan dan menjunjung tinggi si sahabat sejati, "Gue kan udah bilang, coeg -_- sekali mitos tetep mitos."

Gue lebih suka menyebut, "orang-orang yang berpikiran sama" ketimbang sahabat. Ya, mereka cuma orang-orang yang punya pemikiran sama sama gue, terus ketika kita bahas sesuatu, kita enjoy, dan kitapun mendapat pencerahan ketika kita berdiskusi dan berbagi opini satu sama lain. Udah, gitu aja. Ketika mereka pergi gitu aja, ya fine. Orang kita cuma diskusi, diskusi yang mengasikkan. Gak ada yang perlu dipermasalahkan ketika misalnya dua orang berpikiran sama selesai berdiskusi, ya, mereka pergi. Atau misalnya kembali lagi buat mendiskusikan topik lain. Fair-fair aja :) persoalan yang sangat simpel ini akan jadi pelik ketika kita menganggapnya "sahabat". Makan ati lu lama-lama coeg.

Di urutan ketiga mungkin orang terdekat lah yang help a person's up, which is bisa disebut pacar, atau emang deket doang sebagai lawan jenis. Emang asik, bisa punya seseorang yang disayang. Nyaman banget. Tapi cape juga, men, ketika kita perjuangin sesuatu buat dia di tengah-tengah kesengsaraan kita sendiri, dan seakan dia ga sadar akan hal itu. 

Ya, intinya, setelah gue nyerah abis-abisan sama keluarga dan sahabat, yang mana udah meninggalkan bekas dan trauma yang gabakal kehapus oleh waktu sekalipun sepanjang hidup gue, untuk yang ketiga ini, mungkin gue belum menemukan yang tepat aja. Jika tiba saatnya, gue bakal menikmatinya, termasuk sakit hati di akhirnya :)

Kalo kalian punya sesuatu buat dikatakan disini, mungkin kalian bisa komen, cerita apa aja, yang paling absurd sekalipun. Karena kita gak saling kenal, mungkin bakal lebih mudah buat berbagi :)

Selasa, 18 Agustus 2015

Niece, Nephew, Hope the Best for You Two :*

dari semua doa yang gue panjatkan, ada satu doa yang bener-bener gur pengen tuhan kabulkan segera. dan setelah gue sadar, ternyata doa itu bukan buat diri gue pribadi, melainkan buat keponakan-keponakan gue.
setiap gue denger hal-hal gak ngenakin yang keluar, gue selalu berharap supaya Tuhan mempercepat tahun ajaran baru tahun depan. karena gue tau, masa kecil gue juga gak semenyenangkan itu. bahkan sampai sekarang pun gak. setelah gue seumur ini gue mulai nyadar: much enough things are wrong.
gue berharap, dengan pindahnya ponakan-ponakan gue taun depan ke rumah orang tuanya, which is kakak-kakak gue, things gonna be better. gue pengen banget mereka punya masa kecil, masa remaja, dan beranjak dewasa dengan senormal mungkin. pergi liburan bareng ibu sama ayahnya, kalo agustusan pergi ke lapang, mopd di anterin ke sekolah, pramukaan dijenguk dan dibawain makanan, ketika kemaleman pulang sekolah di jemput. hal-hal kayak begitu baru kerasa berharga ketika gue terlalu tua dan terlambat buat merasakannya. dan bagi gue, sekaligus menyakitkan. karena selain terlalu tua dan terlambat, bahkan di masanya pun, gue ga akan pernah mengalami hal itu.
apalagi, mamah gue, which is nenek mereka, bisa dibilang udah harusnya pensiun dari acara ngurus-ngurus anak kecil. udah waktunya dia menikmati hidup tanpa ada yang ngerecokin. enjoy the days mamah :) mungkin mamah bakal kesepian tanpa kehadiran cucu-cucu kesayangan mamah. tapi menurut aku, mamah emang butuh waktu sendiri dulu. kalo mamah kangen sama mereka, toh mamah bisa berangkat sendiri buat ketemu mereka, kan.
semoga aja segala hal jadi lebih baik taun ajaran depan :)

Senin, 17 Agustus 2015

Something to Fix... Maybe

Cinta. Tanpa kita sadari, kita gak bisa hidup tanpa setidaknya bersinggungan dengan hal abstrak dan absurd yang satu ini. karena cinta banyak macamnya, mungkin itulah salah satu sebabnya.
Tapi ada satu jenis yang pasti, yang di masa dewasa awal gue ini lagi booming-booming nya: cinta lawan jenis.
Well, I don’t know apa itu cinta monyet atau cinta real which is yang orang-orang sebut sebagai cinta sejati (yang ketika mereka sudah udah ngerasa disakitin, namanya bakal berubah jadi si bangsat). And, actually gue bener-bener ragu untuk yakin apa di usia belasan menjelang dua puluh ini kita gak terlalu kekanak-kanakkan untuk sebuah cinta monyet, atau apa bisa dibilang dewasa sebelum waktunya kalo kita memastikan bahwa itu adalah cinta sejati.
But, personally, gue sih going with the flow aja kalo masalah cinta-cintaan. Saking going with the flownya, mungkin, sampe-sampe gue sering kehilangan sense ketika mencoba nulis sebuah... well, bisa disebut sebuah bab dari buku gaib yang belum tentu bakal eksis.
Gue sering, sangat sering, menggantungkan bab yang gue tulis gitu aja, males buat ngelanjutin dan mulai lagi yang baru. Mungkin bakal gitu aja terus nyampe simpanse jadi ganteng.
Dan ketika gue melihat-lihat kembali isi folder pribadi gue, scrool up, scrool down, klik open file, close, open file lain, close lagi, gue mulai berpikir: ada yang perlu gue perbaiki dari diri gue. Karena sesungguhnya, gue ngerasa bener-bener bisa melihat diri gue yang asli ketika baca tulisan gue sendiri.
Dan pikiran konyol aneh lain mulai muncul: apa mungkin gue harus mencoba merasakan keadaan sebuah relationship yang sebenarnya ? yang artinya, menurut gue pribadi, bakal mengubah diri gue yang semula.  Mungkin, bisa dibilang, gue bakal nyoba ngebendung air mengalir dengan tangan gue sendiri, ga terlalu going with the flow lagi, jadi mencampurkan satu mililiter bahan kimia kepada sebuah kenaturalan cerita gue.
Satu pribadi dalam diri gue bertanya: apa lo sanggup? Sanggup mengubah diri lo yang... ya, lo apa adanya. Melukai idealisme lo.
Saat pribadi X itu bertanya, diri gue yang asli cuma bisa menunduk, karena dalam hati gue,  gue takut... bener-bener takut kehilangan diri gue sendiri.